Kota Singkawang sangat erat kaitannya dengan perkembangan komunitas Tionghoa di Kalimantan Barat dan perjalanan waktu sejak era kolonial. Berikut adalah beberapa tahapan penting dalam sejarah Singkawang:

Awal Mula Pembentukan Kota (Abad ke-18)

Singkawang pertama kali dikenal sebagai tempat persinggahan para penambang emas asal Tionghoa pada abad ke-18. Ketika itu, para pekerja tambang emas dari Tiongkok, terutama dari suku Hakka dan Hokkien, datang ke Kalimantan Barat untuk mencari kekayaan di daerah Monterado, sebuah wilayah tambang emas yang terletak tidak jauh dari Singkawang. Para penambang ini datang melalui jalur laut, melewati wilayah Singkawang yang letaknya strategis di pesisir barat Kalimantan.

Singkawang menjadi titik perhentian penting bagi mereka sebelum melanjutkan perjalanan ke Monterado. Lambat laun, banyak penambang yang menetap di Singkawang dan membentuk komunitas besar di wilayah ini.

Era Kolonial Belanda (Abad ke-19)

Pada masa kolonial Belanda, Singkawang mulai berkembang sebagai pusat perdagangan dan pemerintahan di wilayah Kalimantan Barat. Pemerintah kolonial Belanda melihat potensi strategis Singkawang sebagai pusat transit bagi komoditas dari daerah pedalaman ke wilayah pesisir.

Pada periode ini juga, populasi komunitas Tionghoa di Singkawang terus bertambah seiring dengan migrasi yang berlangsung. Selain Tionghoa, komunitas Melayu dan Dayak juga sudah mulai menetap di Singkawang. Perpaduan berbagai etnis ini mulai membentuk karakter kota yang beragam secara budaya.

Pembentukan Infrastruktur dan Kelenteng (Abad ke-19)

Seiring dengan bertambahnya populasi, mulai dibangun infrastruktur penting seperti jalan, pasar, serta kelenteng-kelenteng sebagai tempat ibadah komunitas Tionghoa. Singkawang kemudian dikenal sebagai “Kota Seribu Kelenteng” karena banyaknya rumah ibadah yang berdiri di kota ini.

Kelenteng-kelenteng ini bukan hanya sebagai tempat ibadah, tetapi juga menjadi pusat kegiatan sosial dan budaya masyarakat Tionghoa, yang mencerminkan peran penting agama dan tradisi dalam kehidupan masyarakat Singkawang.

Peran dalam Perang Dunia II

Pada masa pendudukan Jepang selama Perang Dunia II, Singkawang mengalami masa sulit seperti wilayah lainnya di Indonesia. Kota ini menjadi bagian dari rute strategis Jepang di Kalimantan Barat, dan masyarakatnya menderita akibat penindasan serta kekurangan bahan pangan selama masa perang.

Perkembangan Setelah Kemerdekaan Indonesia (1945 – Sekarang)

Setelah kemerdekaan Indonesia, Singkawang tetap menjadi bagian dari Kabupaten Sambas sebelum akhirnya pada tahun 2001 resmi menjadi kota otonom dengan status kota administratif. Dengan otonomi tersebut, Singkawang mengalami perkembangan pesat di bidang ekonomi, pariwisata, serta pendidikan.

Selain itu, dengan status sebagai kota otonom, Singkawang mulai dikenal lebih luas sebagai kota dengan perpaduan budaya yang kuat. Festival Cap Go Meh yang digelar setiap tahun menjadi ikon pariwisata dan budaya kota ini, menarik banyak pengunjung dari dalam dan luar negeri.

Identitas Kota Multikultural

Singkawang saat ini dikenal sebagai salah satu contoh terbaik keharmonisan multietnis di Indonesia, di mana tiga etnis utama—Tionghoa, Melayu, dan Dayak—hidup berdampingan dengan damai. Keharmonisan ini telah berlangsung selama ratusan tahun dan menjadi bagian dari identitas Singkawang.

Dengan kekayaan sejarah, budaya, dan warisan arsitektur kelenteng, Singkawang terus berkembang sebagai kota tujuan wisata yang unik di Indonesia. Sejarah panjang migrasi, perdagangan, dan interaksi antar etnis ini menjadikan Singkawang sebagai salah satu kota paling beragam dan menarik di Kalimantan Barat.